Antara Harapan dan Tantangan: Menuju Era Energi Bersih 2030

Dunia sedang berpacu dengan waktu. Tahun 2030 bukan sekadar angka di kalender, melainkan batas krusial yang menentukan apakah kita berhasil membalikkan arah krisis iklim atau justru terjerumus lebih dalam. Di tengah tantangan global yang semakin kompleks, mulai dari emisi karbon yang terus melonjak hingga ketimpangan energi yang menganga. Energi terbarukan dan listrik bersih hadir sebagai harapan.

Energi terbarukan adalah energi yang berasal dari sumber daya alam yang dapat diperbarui secara alami dalam waktu singkat, seperti sinar matahari, angin, air, panas bumi, dan biomassa. Berbeda dengan bahan bakar fosil, energi ini tidak menghasilkan emisi karbon berlebih dan lebih ramah lingkungan.

Listrik bersih mengacu pada sistem pembangkitan listrik yang minim atau nol emisi karbon, yang sebagian besar bersumber dari energi terbarukan. Peran keduanya menjadi sangat penting dalam agenda dekarbonisasi global dan pencapaian pembangunan berkelanjutan.

Menurut laporan IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change), kita hanya memiliki waktu kurang dari satu dekade untuk menekan laju kenaikan suhu global agar tetap di bawah 1,5°C. Sektor energi bertanggung jawab atas lebih dari 73% emisi global, dan sektor kelistrikan merupakan salah satu penyumbang terbesarnya. Jika transisi ke energi bersih tidak segera dilakukan maka :

  1. Dampak iklim akan semakin parah dan luas.
  2. Negara berkembang akan paling terdampak secara ekonomi dan sosial.
  3. Peluang mencapai pembangunan berkelanjutan akan semakin sulit.

Pada Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP28), disepakati bahwa dunia harus:

  1. Melipat gandakan kapasitas energi terbarukan secara global pada 2030.
  2. Menggandakan efisiensi energi.
  3. Menghapus subsidi bahan bakar fosil yang tidak rasional.

Target ini sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya SDG 7: Energi Bersih dan Terjangkau, serta SDG 13: Penanganan Perubahan Iklim.

Bagaimana regulasi dalam hal ini?

  1. Perjanjian Paris (2015)
  • Komitmen global untuk membatasi pemanasan global di bawah 2°C.
  • Mendorong negara membuat rencana aksi iklim (NDCs), termasuk transisi energi, dengan mekanisme tiap negara peserta memasukkan target pengurangan penggunaan bahan bakar fosil, peningkatan kapasitas energi terbarukan, dan penghentian bertahap PLTU batubara dalam NDC(Nationally determined contributions) mereka.

 

  1. SDG (Sustainable Development Goals) 7
  • Akses universal ke energi modern pada 2030.
  • Peningkatan signifikan proporsi energi terbarukan dalam bauran energi global.
  • Perbaikan efisiensi energi (mengurangi konsumsi energi per unit PDB).
  • Peningkatan kerja sama internasional dalam akses teknologi energi bersih.
  • Pembangunan infrastruktur dan teknologi energi di negara berkembang.

     Akan tetapi, Menurut laporan IEA dan IRENA, dunia masih tertinggal dari target SDG 7, terutama di negara-negara Afrika Sub-Sahara dan Asia Selatan, di mana akses listrik dan bahan bakar bersih masih terbatas.

 

  1. COP (Conference of the Parties)

     Forum tahunan di bawah PBB untuk menyepakati arah kebijakan iklim. Contoh: COP28 yang bertempat di Dubai tahun 2023 yang berisi target :

  • Melipat gandakan kapasitas energi terbarukan global hingga 11.000 GW pada 2030.
  • Meningkatkan efisiensi energi rata-rata 4% per tahun.
  • Mendorong penghentian bertahap (phase-out) bahan bakar fosil tanpa teknologi penangkap karbon (unabated fossil fuels)

 

Berbagai negara pada dasarnya sudah berusaha mencoba meraih target terebut dengan menerapkan regulasi yang berbeda-beda. Contohnya saja Tiongkok, mereka memberlakukan Regulasi Perdagangan Emisi Karbon sejak 1 Mei 2024 dan mempercepat pengembangan sistem pengendalian emisi karbon untuk mencapai target puncak emisi pada 2030 dengan cara Menggabungkan kontrol intensitas emisi dan kontrol total emisi, dengan fokus pada sektor-sektor utama seperti tenaga listrik.

Negara besar lain seperti Amerika Serikat pun juga memiliki regulasinya sendiri.Contohnya saja yaitu Clean Power Plan yang diusulkan oleh Presiden Barack Obama, rencana ini bertujuan mengurangi emisi karbon dari pembangkit listrik berbahan bakar batu bara sebesar 30% pada 2030 dibandingkan tingkat emisi tahun 2005. Meskipun mengalami tantangan hukum dan politik, rencana ini mencerminkan upaya awal AS dalam mengatur emisi karbon dari sektor energi.

Indonesia sendiri juga telah menetapkan sejumlah regulasi terbaru yang masih berlaku hingga saat ini untuk mendukung transisi energi bersih dan pengembangan energi terbarukan, seperti :

  • Peraturan Menteri ESDM Nomor 2 Tahun 2024
  • Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 11 Tahun 2023
  • Penyesuaian Persyaratan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) untuk PLTS
  • Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN)

Apa yang bisa kita lakukan?

  1. Tingkat Individu :
  • Matikan peralatan elektronik di stopkontak. Matikan lampu saat tidak digunakan.
  • Belilah peralatan elektronik yang dapat diisi ulang. Jangan membeli atau menggunakan baterai sekali pakai.
  • Gunakan sumber energi surya

     2. Tingkat Komunitas & Pemerintah Lokal

  • Membangun infrastruktur PLTS komunal.
  • Edukasi publik tentang efisiensi energi.
  • Program subsidi konversi energi rumah tangga.

 

  1. Tingkat Nasional & Global
  • Reformasi kebijakan subsidi energi fosil.
  • Penguatan ekosistem investasi energi terbarukan.
  • Transfer teknologi dan kemitraan internasional

Apa manfaat yang bisa kita dapatkan?

  1. Meningkatkan Kesehatan Publik

     Mengurangi pembakaran bahan bakar fosil berarti mengurangi polusi udara, yang berdampak langsung pada penurunan penyakit pernapasan dan kematian dini.

  1. Ketahanan Energi Jangka Panjang

     Energi dari matahari, angin, dan air merupakan energi yang terus ada. Sehingga membuat sistem energi lebih stabil dan mandiri dibandingkan ketergantungan pada impor bahan bakar fosil.

  1. Mendorong Pertumbuhan Ekonomi dan Lapangan Kerja

     Industri energi terbarukan menciptakan jutaan lapangan kerja baru, mulai dari riset, manufaktur, instalasi, hingga pemeliharaan

Transisi menuju sistem energi bersih bukan lagi pilihan, melainkan keharusan global. Melihat tekanan dari krisis iklim yang semakin nyata, perlu sinergi antara kebijakan yang progresif, keterlibatan publik, dan investasi teknologi. Indonesia, melalui serangkaian regulasi dan komitmen internasional, memiliki peluang besar untuk menjadi pemimpin dalam transisi energi di kawasan Asia Tenggara. Namun, pencapaian target 2030 hanya mungkin jika semua pemangku kepentingan bergerak secara kolektif, cepat, dan konsisten.